Mudah mana: selesaikan masalah diri sendiri atau masalah orang lain? Boleh lah kita beroptimis mendapat jawaban kompak: tentu saja lebih mudah pecahkan masalah diri sendiri. Namun sekedar bersepakat akan hal ini belumlah cukup; baiknya kita perlu tahu mengapa demikian halnya yang terjadi serta apa yang bisa kita lakukan terhadapnya.
Untuk itu, perlu kiranya kita melihat penelitian ilmiah yang terkait dengan hal ini (1). Dalam riset yang dilakukan oleh Indiana University ini, ditemukan bahwa subyek penelitian akan lebih mudah untuk menyelesaikan permasalahan yang datang dari institut berjarak 2 ribu mil dari sang subyek ketimbang yang jaraknya 2 mil. Jarak psikologis ini juga bisa diciptakan dengan menghadapkan subyek penelitian dengan masalah-masalah yang dialami oleh para tokoh sejarah di masa lalu, alih-alih masalah yang dihadapi di jaman modern saat ini.
Secara logis, harusnya tidak ada perbedaan antara apakah masalahnya itu dihadapi oleh Cut Nya’ Dien ataukah mas Parto di sebelah rumah. Tapi nyatanya jarak psikologis membuka cara berpikir yang baru.
Temuan menariknya adalah: bahwa manusia akan menjadi lebih kreatif manakala berada dalam kondisi terjarak secara psikologis (entah bagaimana terjemahan tepatnya, yang jelas kata aslinya adalah psychologically distant). Jarak psikologis ini bisa berbentuk tingkat kedekatan waktu ataupun kedekatan fisik. Yang dimaksud jarak waktu yakni terkait seberapa jauh letak ke arah masa lalu atau ke arah masa depan. Dan yang dimaksud dengan jarak fisik –sudah jelas– adalah tingkat kejauhan-letak antara kita dengan kejadian atau perihal tertentu.
Implikasi jelasnya adalah bahwa kita akan lebih susah untuk memecahkan masalah manakala masalahnya semakin dekat dengan kita, baik secara jarak fisik (dari orang-orang yang terdekat dengan kita, atau malah masalah kita sendiri) dan juga secara waktu (masalahnya terjadi betul-betul di saat sekarang, bukannya kemarin-kemarin atau nanti di masa mendatang).
Jarak psikologis mempengaruhi bagaimana cara pikir kita membentuk sesuatu, sedemikian rupa perihal yang letaknya jauh akan cenderung terepresentasikan secara abstrak sementara yang dekat secara psikologis akan tampak lebih konkrit.
(Saphira dan Liberman dalam An Easy Way to Increase Creativity)
Maka semisal saja Anda membaca novel atau sinetron dengan seting kerajaan majapahit yang berkisah tentang seorang pasangan suami istri yang sudah punya momongan kecil namun berkendala dalam hubungan mereka: sang suami suka minum-minum, suka memukul istri, dan tidak menjalankan tanggung jawab mencari nafkah bagi keluarga. Jika itu memang hendak dipecahkan, maka masalahnya ya gampang saja: cerai. Dan Anda pun akan bisa temukan beragam cara kreatif terkait bagaimana mekanisme menuju perceraian (minta bantuan mertua, teman, tokoh masyarakat, dsb) dan bagaimana menjalani kehidupan sebagai single parent.
Nah, lantas sekarang bayangkan bahwa masalahnya itu terjadi di keluarga Anda sendiri saat ini, atau –hopefully not– terjadi bahkan terhadap Anda sendiri. Situasinya sudah tidak lagi terkesan jelas. Manakala ada yang berkata “Please, beri aku kesempatan satu kali lagi”, rasanya sudah tambah susah saja untuk mengambil sikap yang tegas.
Secara obyektif, situasinya sangat identik. Perbedaannya terletak pada bagaimana persepsi kita. Semakin jauh jarak kita dari masalah, semakin mudah bagi kita untuk menemukan pola dari masalah serta, melihat keterkaitan antar aspek-aspek yang terlibat, serta untuk menyusun berbagai kombinasi solusi yang dimungkinkan. Namun kedekatan jarak psikologis membuat kita merasakan berkeranjang keranjang emosi yang jadi beban di pikiran kita dan membuat kita lebih susah lakukan beragam pemikiran kritis dan obyektif. Sementara untuk masalah yang jauh secara psikologis, keranjang emosi itu jadi milik orang lain, kita tidak kebagian andil untuk turut memikulnya.
Tapi tidak hanya itu, begitu jawabannya sudah Anda lihat, Anda juga harus menindakinya. Ketika masalahnya bukan milik Anda, Anda tidak merasakan konsekuensi dari segala keputusan yang diambil. Anda bahkan tidak berada di ruangan yang sama sehingga tidak bisa merasakan seramnya mengatakan “Aku ingin kita bercerai saja.” Bukan Anda juga yang harus merasakan beratnya hidup sendiri tanpa dukungan orang yang terkasih. Bukan Anda juga yang harus menanggung manakala ada apa-apa yang salah.
Ketakutan akan konsekuensi yang potensial dialami membuat kita jadi lebih susah berpikir kreatif.
Nah, sekarang yang penting adalah: Lantas gimana, dong?
Untuk masalah yang milik Anda sendiri atau orang-orang yang terdekat dari diri Anda, gunakan jarak psikologis untuk keuntungan kita.
Bayangkan masalah itu terjadi pada Anda di masa lalu atau di suatu saat nanti di masa depan. Langsung pandang lagi masalahnya dan coba cari solusinya dengan melakukan kombinasi dengan:
Meminta nasehat dari orang lain, siapapun itu di masa lalu atau masa depan Anda. Orang lain di sini bisa jadi orang yang Anda betul-betul kenal secara langsung ataupun tidak. Misal saja, bayangkan Anda meminta nasehat dari Pak Mario Teguh, dari Pak SBY, dari Oprah, atau dari siapapun yang Anda mau. Kalau Anda suka, Anda bisa saja meminta nasehat dari tokoh semacam Upin, Ipin, atau Kak Ross . Apapun, yang penting Anda dapet nasehatnya dalam perspektif yang berbeda dengan milik Anda.
Jika perlu, manakala Anda takut-takut dalam mengembangkan solusi kreatif, katakan ke diri sendiri, “Ini coba mengeksplorasi alternatif solusi aja kok, ndak bener2 bermaksud untuk menjalani.” atau
Bayangkan masalah itu adalah masalah orang lain. Atau bayangkan masalah itu tetap sebagai masalah Anda, sekarang tinggal Anda memposisikan diri sebagai layaknya orang lain. Dan kalau saya, inilah yang biasanya saya lakukan. Frame waktunya tidak berubah, karena bagi saya, ketersediaan resource masa depan atau masa lalu tidaklah sama dengan masa sekarang (kecuali kalau Anda bisa membayangkannya sebagai sama). Untuk masalah tertentu, saya bahkan mengundang diri saya di masa depan untuk hadir di masa depan dan turut memberi nasehat. Ini dengan anggapan bahwa saya di masa depan adalah orang yang lebih bijak dan matang serta —tak kalah pentingnya– juga bisa mengatakan dan meyakinkan betapa pilihan tak enak yang sulit untuk diambil di saat ini akan memberikan kebaikan yang amat besar dan menggiurkan di masa depan. Bagaimanapun, kita yang di saat ini perlu dioptimiskan dan diyakinkan tentang kebaikan yang bisa didapat dari keputusan sulit kita di masa sekarang, untuk kemudian dibuat lebih condong pada menjalani pilihan sulit itu.
Jika cara ini terkesan aneh, well, ini efektif kok Silahkan deh coba. PS: dan sadarkah Anda, jarak psikologis ini juga berlaku untuk keyakinan orang tentang sembuh. Pernah dengar istilah “Dukun yang manjur itu adalah dukun yang letakknya jauh”? Semakin orang berobat (atau minta nasehat) ke tempat yang jauh, atau apapun yang butuh pengorbanan besar, biasanya semakin besar anggapan dia terhadap kemanjurannya. Tapi ini sudah cerita yang berbeda (1) Lile Jia, Edward R. Hirta dan Samuel C. Karpena (2009), Lessons from a Faraway land: The effect of spatial distance on creative cognition, Department of Psychological and Brain Sciences, Indiana University, Bloomington.
http://akhmadguntar.com/manipulasi-jarak-psikologis-jurus-jitu-pecahkan-masalah-sendiri.html